Review Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Testing
Dalam Konseling Dosen Pengampu: Dr. Eddy Purwanto, M.Si. pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang 2013
Oleh:
1. ISNI DHANIANTO
2. HENDRA SULISTIAWAN
PEMILIHAN
TES UNTUK KONSELING
A. Pendahuluan
Bimbingan
adalah merupakan suatu usaha bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka
memecahkan masalah yang dihadapinya. Salah satu hal yang penting dalam
memberikan bimbingan adalah memahami siswa secara keseluruhan, baik masalah
yang dihadapi maupun latar belakangnya. Dengan demikian murid akan mendapatkan
bantuan yang tepat dan terarah. Pemahaman murid ini merupakan salah satu
langkah yang harus dilaksanakan oleh pembimbing.
Untuk
dapat memahami murid dengan sebaik-baiknya maka pembimbing perlu sekali
mengumpulkan berbagai keterangan atau data tentang masing-masing siswa. Data
yang terkumpul akan menentukan tingkat pemahaman dan jenis bantuan yang akan
diberikan. Oleh karena itu dalam rangka pelayanan Bimbingan dan Konseling di
sekolah, pengumpulan data tentang murid merupakan salah satu program dan
pelayanan bimbingan. Para Pembimbing harus melaksanakan pelayanan ini sebelum pelayanan
yang lain dilaksanakan.
Jenis
data yang dikumpulkan hendaknya meliputi berbagai aspek yang berhubungan dengan
diri siswa. Teknik pengumpulan data untuk memahami siswa adalah Test
Psikologis. Test psikologis digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat
potensial seperti : intelegensi, bakat, minat, kepribadian, sikap dan sebagainya.
Untuk melaksanakannya dapat dipergunakan tes psikologis yang sudah tersedia.
Oleh karena itu maka di dalam program bimbingan dan konseling sekolah harus
melaksanakan program khusus. Program khusus dari seluruh program bimbingan pada
umumnya meliputi : Program Testing.
B. Pemilihan Tes sebagai Aspek dalam
Proses Konseling
Perencanaan,seleksi,administrasi
danpenilaiantesterkadangdirasa olehkonselorcukupterpisah dariporsinya sebagai
proseskonselingyangmendahuluidan mengikutites.Seolah-olahtes adalahgangguandari
proseskonseling, memakan banyak waktuuntuk mengumpulkan data
secara mekanisdan objektif, sebelum
kembali ke suatu hubunganyang lebihsarat akan
pengaruh antara konselordan konseli.
Akan tetapi jelasbahwa untukbanyak konseli,jika tidak semua,tes menjadi tidakobjektif.Pengalamantesdipenuhi
denganemosi-emosiyangkonselimiliki kaitannya dengantujuan tes, ketikakonseli
mengetahuinya.Misalnya, pertanyaannya adalah
"dapatkah saya berhasil di perguruan tinggi X?",tes itu sendirikemungkinan akandipenuhi dengankualitasyang
mengancam ketakutansiswaakan kegagalan.Dalamcara yang sama,
konseliyangberada di bawah
tekananorangtua untukmembuat keputusanyang berbedadarikeinginan mereka
sendiri,mungkin saja memproyeksikankecemasannyake
seluruh situasites.
Tidak mengherankan,
bahwa konseli
yang cemas dan merasa tidak amanbereaksi
terhadaptes itu sendiri, dan bahkan terhadap sarankonselor
dari suatu tes, dengan perilaku irrasionalseperti
resistensi, rasionalisasi dan penarikan kembali. Bahkan
ketikakonselimengungkapkansikapobjektifyang serupa dengankonselor, kita
tidak bisa berasumsi bahwasikap-sikap
inimewakiliperasaannyayang sebenarnya.Sesungguhnya, terkadangkonseliyang mengikutitestanpalangsung
mengekspresikan kecemasannyadapatdiduga bahwa dia tidak benar-benarmembiarkandirinyaterlibat.Seolah-olahancaman
itubegitu besar sehinggaditolaksepenuhnya.Lagipula, jika seseorang mencari
bantuankonselingdalam perencanaankarir, memilih
sekolahmaupun perguruan tinggi,membuatpenyesuaianyang lebih baik terhadap
sekolah ataupekerjaan, hal itu normal untuk merasasetidaknyasedikit kecemasantentang indikasi apa yang akan
dihasilkan oleh tes itu terhadap kemampuan,minat dankepribadian seseorang.
Kesenjangan
antara tes dan konseling adalah hal yang sangat perlu diperhatikan oleh
konselor dimana konselor mengadakan tes sebagai bagian dari hubungan konseling
dengan para konselinya, yang mana hal tersebut mungkin bukan hal yang dialami
kebanyakan pengguna tes konseling. Di sekolah-sekolah, kebanyakan tes diadakan
terlebih dahulu sebelum konseling yang kemudian hasilnya digunakan sebagai
dasar untuk konseling tersebut. Biasanya tes tersebut diadakan bukan oleh
konselor, melainkan oleh guru sekolah tersebut. Sedangkan di lembaga- lembaga
konseling yang lebih besar, baik perguruan-perguruan tinggi maupun
institusi-institusi konseling biasanya tes dilakukan oleh psychometristdimana seringkali konselor akan melakukan interupsi
terhadap konselinya
selama kurun waktu beberapa hari atau minggu. Secara singkat berbagai macam
elemen dari tes, termasuk didalamnya pemilihan tes, harus diperhatikan pula
bahwa prinsip- prinsip dasar yang sama berlaku bagi seluruh aktivitas
konseling. Tyler (Goldman, 1961: 41) telah
meringkasnya menjadi pemahaman terhadap konseli, penerimaan konseli dan persepsinya, tulus, berkomunikasi,
memahami dan menerima.
Namun
demikian, pada pemilihan tes dibutuhkan lebih dari sekedar pengaplikasian
prinsip-prinsip umum saja, yang mana hal itu disebut sebagai proses atau aspek
dari pemilihan tes yang membahas mengenai isi dari sebuah tes. Tes-tes tersebut
dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, menyediakan informasi ataupun
melakukan tindakan apapun untuk mendapat informasi yang menyeluruh. Tujuan
ganda dari tes yaitu: pertama
memilih isi tes yang sesuai dengan tujuan khusus diadakannya tes tersebut; kedua memilih dan merencanakan tes
tersebut sedemikian rupa sehingga akan menjadi tes yang memberi kontribusi
besar bagi konseli.
Dalam
proses tes tersebut, meskipun hal-hal mengenai “apa” dan “bagaimana” adalah dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dalam pengoperasiannya (bagaikan kabel dan
aliran listrik yang mengalir melalui kabel tersebut) namun demikian akan
menjadi sangat bermanfaat jika dua hal tersebut dipelajari secara terpisah,
seperti halnya kabel dan aliran listrik yang dapat dipelajari sendiri-sendiri.
Pada kasus pemilihan tes, isi dan proses, masing-masing memiliki tingkat
keunikan dalam hal metode dan sumber-sumber yang digunakan, pelatihan dan
kompetensi yang diperlukan, dan problem-problem khusus.
C. Partisipasi Klien dalam Pemilihan
Tes
Kesadaran
terhadap aspek proses dari keseluruhan pemilihan tes nampaknya merupakan hal
pertama dari sebuah kontribusi Carl Rogers (Goldman, 1971) dimana hal-hal
lainnya kemudian distimulasi oleh ide-idenya. Bagi beberapa konselor, persepsi mereka
tentang teori “client centered”
membawa konselor menuju gambaran-gambaran bahwa tes sebagai bagian dari
konseling (seringkali banyak konselor mengalihkan fokus mereka dari hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan pekerjaan kepada hal-hal yang berkaitan
dengan hal-hal pribadi dan sosial). Teori client
centered dalam konseling secara umum telah memikat ketertarikan dalam
proses pemilihan tes dan secara khusus pada apa yang dimaksud dengan
“partisipasi klien” dalam proses konseling. Namun demikian pada beberapa tahun
yang lalu, Bordin and Bixer (dalam
Goldman, 1971) menganalisis psikologi dari pemilihan tes serta
menyarankan diperlukannya penelitian yang berkesinambungan tentang hal
tersebut, yang mana laporan-laporan aktual yang terpublikasi mengenai
penelitian empiris yang dihasilkan sangatlah sedikit, Seeman, 1948, 1949;
Gustad dan Tuma, 1975; Strange, 1953; Tuma dan Gustad, 1975; Forgy dan Black,
1945 (dalam Goldman, 1971) sedangkan
hasilnya tidaklah terlalu meyakinkan. Hal-hal yang pertama disajikan
adalah analisis teoretis dari proses pemilihan tes, yang akan menekankan pada
partisipasi klien,
lalu kemudian meninjau ulang penelitian-penelitian yang telah dipublikasikan
yang bersangkutan pada topik tersebut.
1. Beberapa Argumen yang
Memandang Perlunya Keikutsertaan Klien
a.
Klien mungkin tidak akan mengikuti
interview lebih lanjut bila tes dirancang tanpa partisipasi aktif klien.
b.
Klien yang yakin terhadap tujuan dari
tes, akan memperoleh wawasan yang didapat dari observasi diri sendiri selama
tes berlangsung.
c.
Motivasi untuk melakukan yang terbaik
akan menjadi lebih kuat ketika klien melihat keterkaitan hubungan antar dirinya
dan tujuan yang dituju.
d.
Pada taraf dimana klien berpartisipasi
dalam memutuskan penggunaan tes, klien akan menjadi lebih siap menerima
penilaian-penilaian dengan tanpa banyak pembelaan diri (menerima dengan lebih
ikhlas).
e.
Ketika ketergantungan menjadi
permasalahan, adalah tanggung jawab konselor secara menyeluruh untuk
perencanaan tes yang berkaitan dengan penanggulangan masalah ketergantungan
tersebut atau mungkin untuk memperkuatnya.
f.
Ketika keraguan menjadi permasalahan,
dimana klien takut memutuskan yang dapat diakibatkan oleh kurangnya percaya
diri dalam menilai atau mungkin disebabkan kurangnya pengalaman dalam sukses
membuat keputusan maka diperlukan pengalaman dalam membuat keputusan.
g.
Sensitivitas konselor akan keterbukaan
terhadap sesuatu, seperti halnya bakat ilmiah seringkali dapat membawa kepada
pengujian yang lebih terbuka dan bermanfaat.
h.
Akhirnya pelaksanaan pemilihan tes dapat
diselesaikan dengan lebih baik, dengan memberikan klien kesempatan yang cukup
dalam mengekspresikan opini-opini mereka mengenai tes, dimana konselor dapat
menguji hipotesisnya terhadap informasi yang dibutuhkan.
2. Beberapa Argumen yang Tidak Setuju
dengan Keikutsertaan Klien
a.
Keikutsertaan klien tidak memberikan
perbedaan hasil yang signifikan.
b.
Diperlukan kompetensi dan kemampuan
klien untuk ikut berperan serta, yang mana tidak seluruh klien memiliki hal
tersebut, sehingga alangkah lebih baik jika konselor sendiri yang menentukan.
c.
Klien akan terlalu emosional jika
terlibat sehingga akan kesulitan mengambil keputusan.
d.
Konselor tidak perlu berurusan dengan
ketergantungan dan keraguan, seperti halnya pada kasus psikoterapi.
3.
Hipotesis
dan Penelitian pada Keikutsertaan Klien
a. Keikutsertaan Klien pada
Perencanaan Tes
1)
Tingkat kembalinya klien untuk mengikuti
interview lanjutan lebih tinggi.
2)
Hasil membuktikan, saat mengikuti tes,
klien dapat mengenali dirinya sendiri lebih dalam.
3)
Meningkatkan motivasi untuk melakukan
tes-tes tentang kemampuan diri dengan lebih baik, memberi respon dengan
sungguh-sungguh dan akurat terhadap minat dan kepribadian klien.
4)
Selama proses interview berlangsung,
klien dapat dengan lebih mudah menerima hasil penilaian tentang dirinya tanpa
banyak membela diri.
5)
Mengurangi ketergantungan yang dapat
menimbulkan permasalahan.
6)
Memperkecil keragu-raguan yang dapat
menimbulkan permasalahan.
7)
Hasil dari keseluruhan proses konseling
menunjukkan
bahwa klien dapat mengenali dirinya dengan lebih dalam lagi.
8)
Melengkapi data diagnostik tambahan bagi
konselor.
9)
Mempermudah pemilihan tes yang lebih
tepat, karena klien membantu konselor memahami akan apa yang telah diketahui
oleh klien tentang dirinya, apa yang klien ingin dan perlu diketahui.
b. Pengujian Hipotesis (oleh
Penulis-Goldman)
1)
Ketika metode dan interpretasi pemilihan
tes yang sama digunakan oleh konselor yang berbeda, perbedaan-perbedaan hasil
yang signifikan tentang pembelajaran diri yang ditunjukkan oleh grup-grup konseli.
2)
Ada hubungan yang sistematik dalam
situasi konseling antara kelompok klien tentang pembelajaran diri sendiri, dan
kesamaan konselor-klien pada ciri-ciri kepribadian yang dipilih.
4. Implikasi Penelitian
Kita
tidak dapat bergantung pada keterangan dari penelitian yang telah ada sebagai
petunjuk pemilihan tes dalam konseling, meskipun pada dasarnya sangat membantu
dalam menyatakan pentingnya konselor sebagai variabel dalam penelitian. Nampaknya pada
dasarnya tidak ada dan tidak akan pernah ada metode yang terbaik dalam
pemilihan tes. Yang ada adalah penelitian selanjutnya akan mengevaluasi
bermacam-macam metode pemilihan tes dalam kaitanya dengan relevansi
karakteristik konselor dan para kliennya. Studi-studi mungkin akan membawa pada
pengembangan instrumen-instrumen yang akan mencirikan tiap-tiap konselor, yang
akan menyediakan metode-metode dasar untuk mengidentifikasi metode-metode yang
secara umum efektif digunakan untuk kasus-kasus tertentu.
D. Metode Pemilihan Tes
Karena
penelitian telah membuat kontribusi yang terbatas di dalam area pemilihan tes,
kita harus menarik dengan kuat pada teori, logika dan akumulasi pengalaman
konselor. Keuntungan dari melibatkan klien dalam proses meliputi: (1) penurunan
resistensi/perlawanan klien pada tes itu sendiri dan pada hasilnya; (2)
memungkinkan pemilihan tes yang lebih tepat; (3) perkembangan klien terhadap
ketegasan dan kemandirian; (4) peningkatan pemahaman diri klien melalui
pengambilan tes itu sendiri melalui keseluruhan proses konseling; (5)
kesempatan yang lebih besar bagi konselor mempelajari kliennya melalui diskusi
dari tes yang tepat.
1. Konselor
Konselor
dan kepribadiannya, nampaknya menjadi faktor utama dalam menentukan keefektifan
dari pendekatan khusus terhadap pemilihan tes. Keyakinan dasar konselor dalam
pemilihan tes nampaknya menjadi elemen yang paling kritis. Bordin (1955)
menyarankan bahwa pengetahuan konselor terhadap tes dan perasaan nyaman
terhadap tes tersebut diperlukan bagi ketrampilan konselor dalam menjalankan
pemilihan tes, tetapi pengetahuan konselor yang tidak memadai akan membawa pada
pemilihan tes yang gegabah sehingga memberikan kesempatan yang tidak memadai
bagi klien untuk dapat sungguh-sungguh berpartisipasi.
2. Klien
Pada umumya para klien,
terlebih lagi siswa sekolah anak-anak dan dewasa cenderung untuk melihat
konselor sebagai figur berotoritas yang memiliki kebijaksanaan dan kekuatan.
E. Prinsip- prinsip Pemilihan Tes
1. Penstrukturan
Konselor
harus mengkomunikasikan
kepada kliennya prosedur dan aturan dasar yang akan diambil, dalam hal ini
konselor harus dapat menemukan cara yang efektif, nyaman dan asli yang tepat
untuk dijalankan
2. Klien tidak Menentukan Tes-tes
Tertentu
Jika
konselor dapat memperkirakan tingkah laku serta menggambarkan klien dengan
lebih baik dibanding apa yang tes dapat lakukan, konselor mungkin merasa tidak
perlu untuk berdiskusi dengan klien untuk mengetahui karakteristiknya. Kasus
klien memilih tes yang diambil kadangkala menjadi keputusan terakhir yang
terdengar aneh ketika konselor tidak tahu tes mana yang terbaik untuk diambil.
Pendekatan
yang bagi konselor nampak cukup pantas adalah dengan meminta klien berpartisipasi
dalam alternatitf program tindakan dan pertanyaan yang spesifik tentang
alternatif-alternatif. Konselor kemudian mengindikasi tes yang dapat memberikan
jawaban yang natural. Klien dapat berpartisipasi dalam memutuskan apakah
pertanyan tersebut merupakan pertanyaan yang ingin dia jawab, kemudian klien
dapat berpartisipasi dalam memikirkan apakah ia dapat menjawab pertanyaan itu,
dalam ingatannya tersedia jawaban dari pertanyaan itu, atau kemudian memilih
pertanyaan yang lain yang lebih tepat baginya. Kesimpulannya, apakah konselor
meminta atau tidak meminta kliennya untuk betpartisipasi dalam mengeksplorasi
karakteristiknya, adalah tanggung jawab konselor untuk menentukan tes yang
tepat.
3. Fleksibilitas
Konseli
jarang sekali mengutarakan ide dan perasaan yang konsisten dan teratur selama
perencanaan tes maupun interview. Untuk memperoleh berbagai kemungkinan dalam
interview diperlukan usaha untuk merasakan reaksi klien dan bergerak mengikuti
reaksi tersebut.
4. Miscellaneous
a.
Pernyataan klien diawal tentang
keinginannya menjalani tes tidak perlu dianggap sebagai informasi yang penting.
b.
Setiap orang pernah melakukan kesalahan.
Setelah melalui tes tersebut sangat mungkin didapatkan hasil konseling yang
mendekati sempurna ketimbang diawal pertengahan konseling.
c.
Seluruh sumber data yang ada harus dieksplorasi.
Prinsip dasar dari teori informasi adalah terus menambah informasi sampai
sesuatu informasi yang baru didapat.
Bagi
konselor sekolah maupun perguruan tinggi yang telah memiliki informasi tertentu
tentang kliennya, hal terbaik yang ia bisa lakukan adalah mengkomunikasikan
pemikirannya yang terbuka dan menggunakan informasi yang ada hanya jika klien
siap menerimannya. Dalam situasi apapun, konselor harus memilih antara berusaha
memperoleh informasi yang bersifat diagnostik tentang kliennya atau menjaga
hubungan yang nyaman dengan kliennya dimana klien tidak merasa terganggu.
Berusaha memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang rekam jejak sekolah
klien dapat menyebabkan menurunnya partisipasi, percaya diri serta independensi
klien. Konselor harus dapat beradaptasi secara efektif dengan area dimana dia
bisa memperoleh informasi dari kliennya.
F.
Faktor-faktordalamPemlihanTes
Terdapatbeberapa factor yang
perludipertimbangkandalampemilihantes Goldman (1971 : 81-90)
menyebutkan diantaranya:
1.
Reliabilitas
Reliabilitas
dapat digunakan bervariasi terhadap umur sempel, level pendidikan mereka,
motivasi dll. Statistik dalam reliabilitas dapat dikerjakan dalam kelompok.
2.
Validitas
Memiliki
4 tipe umum:
a.
Isi
b.
Prediksi
c.
Concurrent
d.
Konstruk
3.
Norma
Susah
untuk mengevaluasi komparabilitas suatu set dari norma.
4.
Umur
Biasanya
umur klien sebagai faktor dipertimbangkan dengan menggunakan norma yang tepat.
Ada 2 masalah utama dalam menggunakan norma yaitu: pertama anak muda yang mempertimbangkan
latihan untuk yang masa akan datang. Selanjutnya konseling dengan klien yang
lebih tua mempertimbangkan tentang perubahan pekerjaannya.
5.
Pengalaman sebelumnya
Peranan
pengalaman sebelumnya kurang jelas dalam tes bakat dan minat.
6.
Tingkat membaca
Batas
sesuatu kekurangan membaca memngganggu kinerjanya pada tes dimana tidak
dimaksudkan dalam cara mengungkur kemampuan membaca, seorang konseli tidak
diukur secara cukup.
7.
Kecepatan
Reverensi
sudah siap dibuat untuk menurunkan kinerja kecepatan tes yang dikaitkan dengan
umur.
8.
Kertas dan pencil Vs aparat test
Apparatus
tes digunakan ketika tidak nyaman dengan kertas dan pensil, mungkin dikarenakan
pengalaman.
9.
Tes individu Vs tes kelompok
Setiap
tes bisa diadministrasikan secara individual ketika hal tersebut penting untung
mengobservasi perilaku secara tertutup atau ketika individu mengambilnya karena
mereka tidak berfungsi dalam situasi testing kelompok dikarenakan oleh tegangan
atau faktor-faktor lain.
10. Waktu yang dibutuhkan
Klien
kadang-kadang membatasi waktu tes karena biaya, hal ini biasanya terjadi pada
agensi. Materi tes sering harus menggunakan batas waktu karena kasus konselor
yang begitu berat.
11. Cacat
Beberapa
jenis kecacatan mempengaruhi perilaku tes.
G. Pelaksanaan dan Penafsiran Tes
Kritik
utama yang diarahkan pada penggunaan tes dalam konseling terfokus pada
pelaksanaan dan interpretasi/penafsiran. Proses pelaksanaan tes diuraikan dalam
buku panduan yang mendampingi masing-masing tes dan kebanyakan tes menyebutkan
prosedur yang seragam yang harus dipatuhi pada setiap langkah, mulai dari
mempersiapkan ruangan hingga pemberian instruksi. Beberapa tes mempunyai
instruksi khusus yang harus diikuti konselor jika menginginkan hasil tes yang
absah.
Setelah
tes dipilih, dilaksanakan dan dinilai,
konselor perlu menafsirkan hasilnya bagi populasi yang dites tersebut dengan
cara yang mudah dipahami. Empat interpretasi dasar yang dapat membantu penerima
tes, bergantung pada tes yang diberikan, antara lain:
1.
Interpretasi deskriptif, yang memberikan
informasi mengenai status terkini dari penerima tes.
2.
Interpretasi genetik, yang berfokus pada
bagaimana orang yang dites menjadi dirinya sekarang.
3.
Interpretasi prediktif, yang berfokus
pada meramalkan masa depan.
4.
Interpretasi evaluatif, yang melibatkan
rekomendasi oleh penafsir tes.
Sayangnya,
beberapa konselor tidak berhasil melaksanakan atau menafsirkan tes.
Penyalahgunaan terjadi pada tiga bidang dasar pengetesan, penggunaan,
pendidikan dan klinikal. Penyalahgunaan dapat terjadi akibat pelaksanaan dan
penafsiran tes yang salah atau memberikan tes tersebut pada orang yang salah
atas alasan yang salah.
Dengan
mempertahankan kondisi baku saat tes dilaksanakan, dengan mengetahui kekuatan
dan kelemahan norma-norma, reliabilitas dan keabsahan instrumen tertentu dan
dengan menerjemahkan data mentah tes menjadi deskripsi yang berarti tentang
perilaku terkini atau yang diperkirakan, konselor memastikan bahwa tes tersebut
dipilih untuk meningkatkan kesejahteraan kliennya.
Kapan tes berakhir? Berbagai
macam pendekatan dapat digolongkan menjadi beberapa kategori di bawah ini:
1. Uniform
Battery (deret keseragaman). Seluruh konseli
mengambil group test yang sama yang
mana di agensi-agensi biasanya lebih natural, meliputi bakat khusus, minat dan
kepribadian. Di sekolah kemiripan keseragaman biasanya muncul.
2. Individualized
Battery(deret individu).Tes dilaksanakan
bersama-sama dalam satu kelompok namun tidak harus tes yang sama yang diberikan
kepada seluruh konseli yang menjalani tes. Tes merupakan pendekatan yang
berkesinambungan yang disesuaikan dengan kebutuhan individu pesertanya,
karakteristik dan ekspektasi tujuan.
3. Preliminary
Screening Battery and Sequential Testing(deret
penyaringan awal dan tes yang berkesinambungan). Pendekatan ini telah dicoba
antara Uniform dan Individualized Battery, dan merupakan
kompromi dari kedua pendekatan tersebut. Tes umum seperti tes intelegensi dan
minat diberikan terlebih dahulu, kemudian secara sendiri-sendiri konselor dan
klien memilih tes dengan pendekatan Individualized
Battery.
4. As-needed(sesuai
kebutuhan). Dalam pendekatan yang digambarkan oleh Super (1950), tes digunakan
dengan lebih dinamis dan terjalin dengan jelas dengan proses konseling yang
sedang berlangsung dibanding dengan pendekatan lainnya.
H. Program Tes Kelompok
Pada
awal, prinsip- prinsip dan prosedur sepertinya tidak aplikatif untuk situasi
dimana tes diperuntukkan
untuk kelompok daripada untuk individu. Pada perguruan tinggi contohnya, mahasiswa
baru mengambil deretan tes: tes akademik, bakat, membaca secara komprehensif,
walaupun nampaknya hampir tidak ada yang memiliki ketertarikan mengambil tes
tersebut. Hal yang sama terjadi pula di level sekolah menengah. Kita harus
mempertanyakan: pertama, apakah betul-betul
butuh diadakan tes yang sama untuk kelompok yang sama dengan cara tersebut? kedua, dalam situasi yang demikian,
dimana tidak ada alternatif lain, apakah elemen partisipasi klien dapat
diperkenalkan? Pendapat kita pada pertanyaan pertama seringkali “ya” dan untuk
pertanyaan kedua “tidak”.
1. Apakah Tes yang Seragam Dibutuhkan?
Ada
paling tidak dua alasan diberikannya tes yang sama untuk seluruh murid. Pertama, memungkinkan pengembangan norma
lokal dan studi keabsahan lokal seperti data bagi tujuan penelitian lain. Kedua, dapat menghemat waktu
administrasi dan scoring test. Namun
seringkali dengan jumlah siswa yang menjalani tes yang tidak diketahui berapa
jumlah pesertanya dengan kerangka berfikir mereka, dapat menyebabkan tidak
kondusif bagi pengukuran kemampuan, minat dan kepribadian.
2. Dapatkah Program Tes Kelompok
Ditingkatkan?
Banyak
institusi telah menyadari kekurangan dari program tes massal, dan beberapa dari
mereka telah berusaha untuk memperbaiki situasi tersebut. Karena minimnya
catatan tentang usaha perbaikan tersebut, maka kita harus berurusan secara
esensial dengan impresi dari kontak langsung. Biasanya upaya yang sering
dilakukan adalah dengan pertenuan kelompok terlebih dahulu sebelum diadakan tes
dalam rangka untuk meningkatkan motivasi dan mengurangi kecemasan yang tidak
perlu. Metode ini akan berjalan efektif bila waktu yang dialokasikan cukup dan
jumlah pesertanya tidak terlalu banyak sehingga tidak terjadi kemungkinan hanya
penceramah saja yang berbicara.
Beberapa
konselor mungkin peduli bahwa mereka yang paling membutuhkan tes adalah mereka
yang paling akhir meminta tes tersebut, hal ini merefleksikan sikap protektif
dan manipulatif yang sulit untuk sesuai dengan filosofi bimbingan. Terlebih
lagi ketika seseorang tidak ingin dibantu maka tes yang seperti paksaan
tersebut akan berdampak pada pemikiran dan perencanaan konseli. Konselor
sekolah maupun perguruan tinggi yang mengganti program tes massal yang seperti
memaksa dengan metode yang lebih individual dimana hanya yang merasa
membutuhkan tes saja yang mengambil tes tersebut, maka tes tersebut akan
menjadi program yang lebih bermanfaat.
I.
Simpulan
(Pemilihan Tes: Menyesuaikan Klien dan Karakteristik Tes)
Seperti
telah disampaikan sebelumnya, proses tes akan menjadi lebih bermanfaat dan
efektif setelah eksplorasi yang cukup terhadap seberapa besar kebutuhan konseli
akan tes dan dengan partisipasi
maksimal dari konseli, sehingga setiap tes memiliki tujuan masing-masing dalam
pikiran konselor dan konseli. Walau mungkin hasil tes hanyalah merupakan
pengurangan ketidakpastian atau perubahan utama konsep diri atau tujuan akhir,
konselor juga harus menganggap perubahan sebagai hasil tes. Perubahan akan
sering terjadi bila tes digunakan secara sengaja dengan mempertimbangkan
partisipasi serta keterlibatan konseli bagi keuntungan mereka.
Setelah
mendefinisikan tujuan dari tes untuk konseli maupun kelompok tertentu, selanjutnya informasi
spesifik dicari dan akhirnya data yang tersedia dicek. Beberapa konselor
nampaknya menggunakan beberapa tes yang berbeda yang mana hal tersebut baik
diterapkan di sekolah maupun institusi lainnya dimana pendekatan tes massal
umum digunakan. Ada juga kecenderungan konselor menggunakan tes yang sudah
mereka ketahui dan enggan menggunakan tes yang baru dan berbeda. Kelemahan
untuk berubah nampaknya disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama,
orang umumnya belajar jumlah tes secara terbatas selama studi sarjananya,
karena pengajar hanya mengajarkan yang mereka ketahui dan yang paling mereka
sukai. Kedua, pengalaman menggunakan
tes yang hasilnya bermanfaat meningkatkan kemampuan seseorang, kemudian tes
tersebut selalu digunakan. Ketiga,
seringkali sulit bagi kebanyakan praktisi untuk mengikuti publikasi dari
tes-tes baru dan pengesahan data untuk tes-tes baru tersebut. Rata- rata
konselor tidak memiliki dasar yang memenuhi syarat untuk menilai tes-tes baru
setelah lebih dari 5 tahun penerbitan, yang mana hal tersebut merupakan waktu
untuk menyajikan evaluasi yang cukup lengkap bagi buku teks dan karya ilmiah
lainnya. Pada akhirnya untuk mempelajari tes dibutuhkan pengawasan ahlinya,
atau paling tidak melalui diskusi yang panjang dengan konselor lainnya. Banyak
sekali praktisi yang tidak mendapatkan akses ke sumber-sumber yang dapat
membantu.
DAFTAR PUSTAKA
Goldman, L. (1971). Using Test in Counseling. New York: Meredith Corporation.
Post a Comment for "Pemilihan Tes untuk Konseling"
Penulis
Pendidikan
1. S1 BK (STKIPMPL)
2. S2 BK (Unnes)