Sejarah kelahiran layanan
bimbingan dan konseling di lingkungan pendidikan di tanah air dapat dikatakan
tergolong unik. Terkesan oleh layanan bimbingan dan konseling di
sekolah-sekolah yang diamati oleh para pejabat pendidikan dalam peninjauannya
di Amerika Serikat sekitar tahun 1962, beberapa orang pejabat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menginstruksikan dibentuknya layanan bimbingan dan
penyuluhan di sekolah menengah sekembalinya mereka di tanah air. Kriteria
penentapan konselor ketika itu tidak jelas dan ragam tugasnyapun sangat lebar,
mulai dari berperan semacam ”polisi sekolah” sampai dengan mengkon¬versi hasil
ujian untuk seluruh siswa di suatu sekolah menjadi skor standar.
Pada awal dekade 1960-an,
LPTK-LPTK mendirikan jurusan untuk mewadahi tenaga akademik yang akan membina
program studi yang menyiapkan konselor yang dinamakan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan,
dengan program studi yang diselenggarakan pada 2 jenjang yaitu jenjang Sarjana
Muda dengan masa belajar 3 tahun, yang bisa diteruskan ke jenjang Sarjana
dengan masa belajar 2 tahun setelah Sarjana Muda. Program studi jenjang Sarjana
Muda dan Sarjana dengan masa belajar 5 tahun inilah yang kemudian pada akhir
dekade 1970-an dilebur menjadi program S-1 dengan masa belajar 4 tahun, tidak
berbeda, dari segi masa belajarnya itu, dari program bakauloreat di negara
lain, meskipun ada perbedaan tajam dari sisi sosok kurikulernya. Pada dekade
1970-an itu pula mulai ada lulusan program Sarjana (lama) di bidang Bimbingan
dan Konseling, selain juga ada segelintir tenaga akademik LPTK lulusan
perguruan tinggi luar negeri yang kembali ke tanah air.
Kurikulum 1975 mengacarakan
layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam
sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran
yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun
1976, ketentuan yang serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah,
dengan kerja sama Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP
Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan
pelayanan bimbingan dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk. Tindak
lanjutnya memang raib ditelan oleh waktu, karena para kepala SMK kurang
memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut
untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke
sekolah masing-masing. Tambahan pula, dengan penetapan jurusan yang telah pasti
sejak kelas I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk
melaksanakan layanan bimbingan karier.
Untuk jenjang SD, pelayanan
bimbingan dan konseling belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada
konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu. Untuk
jenjang sekolah menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG
di-phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru-guru SPG yang tidak
diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, juga
ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.
Meskipun ketentuan
perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong
oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka dengan dimotori
oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di LPTK-LPTK,
pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana Muda dan
Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik konselor yang bertugas di
LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang bermacam¬-macam yang
secara de facto bertugas sebagai guru pembimbing di lapangan.
Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”.
Oleh karena itu, dicarilah jalan
ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan
Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa
program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa
mengajarkan 1 bidang studi. Dalam pada itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan
peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan
Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit
secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa konvensi dan
kongres. Pada tahun 2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan
Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling
Indonesia (ABKIN).
Dengan diberlakukannya Kurikulum
1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam
sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah
mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap
150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang
pendidikan menengah. Dengan jumlah lulusan yang sangat terbatas sebagai dampak
dari kebijakan Ditjen Dikti untuk menciutkan jumlah LPTK Penyelenggara Program
S-1 Bimbingan dan Konseling mulai tahun akademik 1987/1988, maka semua sekolah
menengah di tanah air juga tidak mudah untuk melaksanakan instruksi tersebut.
Sesuai arahan, masing-masing sekolah menengah ”mengalih tugaskan” guru-gurunya
yang paling bisa dilepas (dispensable) untuk mengemban tugas menyelenggarakan
pelayanan bimbingan dan konseling setelah
dilatih melalui Crash Program, dan lulusannyapun disebut Guru Pembimbing. Dan
pada tahun 2003 diberlakukan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang menyebut adanya jabatan “konselor” dalam pasal 1 ayat (6), akan
tetapi tidak ditemukan kelanjutannya dalam pasal-pasal berikutnya. Pasal 39
ayat (2) dalam UU nomor 20 tahun 2003 tersebut menyatakan bahwa “Pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik
pada perguruan tinggi”, meskipun tugas “melakukan pembimbingan” yang tercantum
sebagai salah satu unsur dari tugas pendidik itu, jelas merujuk kepada tugas
guru, sehingga tidak dapat secara sepihak ditafsirkan sebagai indikasi tugas
konselor.
Sebagaimana telah dikemukakan
dalam bagian Telaah Yuridis, sampai dengan diberlakukannya PP nomor 19 tentang
Standar Nasional Pendidikan dan UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pun, juga belum ditemukan pengaturan tentang Konteks Tugas dan Ekspektasi
Kinerja Konselor. Oleh karena itu, tiba saatnya bagi ABKIN sebagai organisasi
profesi untuk mengisi kevakuman legal ini, dengan menyusun Rujukan Dasar bagi
berbagai tahap dan/atau sisi penyelenggaraan layanan ahli bimbingan dan
konseling yang memandirikan khususnya dalam jalur pendidikan formal di tanah
air, dimulai dengan penyusunan sebuah naskah akademik yang dinamakan Naskah
Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan
Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.
Sumber :
Naskah Akademik Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan
dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta: 2007
Post a Comment for "Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia"
Penulis
Pendidikan
1. S1 BK (STKIPMPL)
2. S2 BK (Unnes)