Konseli berusia 14 tahun dan merupakan anak ke-3 dari 4 bersaudara. Konseli merasa kesepian dan hidupnya hampa tidak berarti serta seringkali mengalami kecemasan ketika sendirian di rumah. Selain itu, konseli sering memikirkan perceraian kedua orang tuanya dan mengalami kecemasan ketika memikirkan itu. Seringkali konseli jatuh sakit karena memikirkan hal tersebut. Dalam catatan harian SMPN 3 Semarang tentang intensitas absen siswa, konseli sering tidak masuk minimal satu hari dalam satu minggu baik itu karena sakit ataupun karena alpha.
Akibat kecemasan yang dideritanya itu, konseli mengalami sakit usus bantu dan harus dilakukan operasi. Konseli menceritakan perasaan kesepian dan hampa ini karena dia merasa tidak ada yang menemaninya apalagi setelah orang tuanya bercerai. Setelah melakukan wawancara lebih lanjut, diketahui bahwasanya konseli tinggal di Semarang bersama adiknya. Sementara kakak yang pertama tinggal di Jakarta karena bekerja sebagai manajer cabang BCA. Kemudian kakak yang ke-2 kuliah di Jepang karena mendapatkan beasiswa kuliah. Adiknya berada di kelas VII SMPN 3 Semarang.
Sementara setelah bercerai kedua orang tuanya berpisah, ayahnya bekerja di Kalimantan menjadi tenaga kerja di bagian pertambangan. Ibunya bekerja di Jakarta sebagai pegawai bank swasta. Konseli pernah menceritakan keinginannya untuk bertemu dengan ayah dan sempat terwujud walaupun dengan sengaja datang ke bandara sebelum ayahnya berangkat ke Kalimantan. Sementara karena ibunya begitu sibuk, sehingga ketika konseli ingin bertemu harus datang sendiri ke Jakarta. Walaupun memang di antar oleh supir pribadi. Kondisi di atas, menunjukkan bahwa perasaan kesepian (loneliness) konseli berasal dari rasa cemasnya dan tidak adanya perhatian yang mendalam dari kedua orang tuanya ataupun kakaknya setelah mengalami perceraian
Ada beberapa indikator yang menunjukkan konseli memiliki masalah merasa kesepian dalam hidup (Loneliness) yakni sebagai berikut :
a. Sering cemas ketika sendiri
b. Merasa hampa dan sendiri
c. Sering menangis ketika mengingat orang tuanya yang bercerai
d. Merasa tidak ada yang bisa memahaminya
e. Sering jatuh sakit karena cemas bahkan pernah sakit usus buntu
Kesepian sangat berkaitan erat dengan ketidakdekatan atau keintiman dalam hubungan dengan seseorang Weiss dalam (Arishanti, 2006). Pada kasus di atas, konseli mengalami depresi atas perceraian yang terjadi di antara kedua orang tuanya dan merasa hampa karena tidak adanya perhatian yang intens dari kedua orang tuanya konselor menggunakan pendekatan Gestalt yakni teknik kursi kosong (empty chair) untuk mengutarakan luapan emosi yang tidak tersampaikan ketika kedua orang tuanya bercerai. Karena konseli merasa kedua orang tuanya belum memahami dia dan saling egois, tidak mempedulikan dirinya.
Hal ini sesuai dengan prinsip Gestalt yakni disini dan sekarang (Here and Now). Corey (2009) menjelaskan salah satu pandangan Gestalt adalah menyelesaiakan masalah yang belum terselesaikan (unfinished business). Teknik kursi kosong ini digunakan untuk memahami urusan-urusan yang tak selesai dalam kehidupan konseli yang selama ini membebani dan menghambat kehidupan konseli secara sehat. Untuk itu, pada sesi ini, konseli melakukan dua peran sekaligus yakni sebagai dirinya dan kedua orang tuanya. Langkah pertama yang dilakukan konselor adalah menginformasikan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan kemudian konselor menanyakan kesiapan dari konseli untuk membayangkan kedua orang tuanya ada di ruangan konseling.
Setelah itu, konseli melakukan dialog peran yang diperankan oleh dirinya sendiri namun berperan ganda yakni dirinya dan kedua orang tuanya. Konselor menyediakan kursi kosong dan konseli mulai memerankan peran sebagai dirinya serta berbicara kepada kedua orang tuanya dalam kursi kosong itu. Konseli mulai meluapkan seluruh emosinya dan mengucurkan air mata. Setelah itu, konseli berganti peran sebagai kedua orang tuanya dan menanggapi luapan dari dirinya. Teknik kursi kosong ini menjadi salah satu media untuk meluapkan emosi yang belum tersampaikan dan setelah berdialog dengan kedua orang tuanya, konselor meminta kedua orang tuanya meminta maaf pada konseli dan konseli memaafkan kesalahan kedua orang tuanya. Konseli mulai merasa lega dan konselor menanyakan perasaannya. Konseling diakhiri berdasarkan kesepakatan bersama konseli dan konselor setelah konseli mulai merasakan masalah yang dihadapinya lepas dan lega.
Akibat kecemasan yang dideritanya itu, konseli mengalami sakit usus bantu dan harus dilakukan operasi. Konseli menceritakan perasaan kesepian dan hampa ini karena dia merasa tidak ada yang menemaninya apalagi setelah orang tuanya bercerai. Setelah melakukan wawancara lebih lanjut, diketahui bahwasanya konseli tinggal di Semarang bersama adiknya. Sementara kakak yang pertama tinggal di Jakarta karena bekerja sebagai manajer cabang BCA. Kemudian kakak yang ke-2 kuliah di Jepang karena mendapatkan beasiswa kuliah. Adiknya berada di kelas VII SMPN 3 Semarang.
Sementara setelah bercerai kedua orang tuanya berpisah, ayahnya bekerja di Kalimantan menjadi tenaga kerja di bagian pertambangan. Ibunya bekerja di Jakarta sebagai pegawai bank swasta. Konseli pernah menceritakan keinginannya untuk bertemu dengan ayah dan sempat terwujud walaupun dengan sengaja datang ke bandara sebelum ayahnya berangkat ke Kalimantan. Sementara karena ibunya begitu sibuk, sehingga ketika konseli ingin bertemu harus datang sendiri ke Jakarta. Walaupun memang di antar oleh supir pribadi. Kondisi di atas, menunjukkan bahwa perasaan kesepian (loneliness) konseli berasal dari rasa cemasnya dan tidak adanya perhatian yang mendalam dari kedua orang tuanya ataupun kakaknya setelah mengalami perceraian
Ada beberapa indikator yang menunjukkan konseli memiliki masalah merasa kesepian dalam hidup (Loneliness) yakni sebagai berikut :
a. Sering cemas ketika sendiri
b. Merasa hampa dan sendiri
c. Sering menangis ketika mengingat orang tuanya yang bercerai
d. Merasa tidak ada yang bisa memahaminya
e. Sering jatuh sakit karena cemas bahkan pernah sakit usus buntu
Kesepian sangat berkaitan erat dengan ketidakdekatan atau keintiman dalam hubungan dengan seseorang Weiss dalam (Arishanti, 2006). Pada kasus di atas, konseli mengalami depresi atas perceraian yang terjadi di antara kedua orang tuanya dan merasa hampa karena tidak adanya perhatian yang intens dari kedua orang tuanya konselor menggunakan pendekatan Gestalt yakni teknik kursi kosong (empty chair) untuk mengutarakan luapan emosi yang tidak tersampaikan ketika kedua orang tuanya bercerai. Karena konseli merasa kedua orang tuanya belum memahami dia dan saling egois, tidak mempedulikan dirinya.
Hal ini sesuai dengan prinsip Gestalt yakni disini dan sekarang (Here and Now). Corey (2009) menjelaskan salah satu pandangan Gestalt adalah menyelesaiakan masalah yang belum terselesaikan (unfinished business). Teknik kursi kosong ini digunakan untuk memahami urusan-urusan yang tak selesai dalam kehidupan konseli yang selama ini membebani dan menghambat kehidupan konseli secara sehat. Untuk itu, pada sesi ini, konseli melakukan dua peran sekaligus yakni sebagai dirinya dan kedua orang tuanya. Langkah pertama yang dilakukan konselor adalah menginformasikan terlebih dahulu apa yang akan dilakukan kemudian konselor menanyakan kesiapan dari konseli untuk membayangkan kedua orang tuanya ada di ruangan konseling.
Setelah itu, konseli melakukan dialog peran yang diperankan oleh dirinya sendiri namun berperan ganda yakni dirinya dan kedua orang tuanya. Konselor menyediakan kursi kosong dan konseli mulai memerankan peran sebagai dirinya serta berbicara kepada kedua orang tuanya dalam kursi kosong itu. Konseli mulai meluapkan seluruh emosinya dan mengucurkan air mata. Setelah itu, konseli berganti peran sebagai kedua orang tuanya dan menanggapi luapan dari dirinya. Teknik kursi kosong ini menjadi salah satu media untuk meluapkan emosi yang belum tersampaikan dan setelah berdialog dengan kedua orang tuanya, konselor meminta kedua orang tuanya meminta maaf pada konseli dan konseli memaafkan kesalahan kedua orang tuanya. Konseli mulai merasa lega dan konselor menanyakan perasaannya. Konseling diakhiri berdasarkan kesepakatan bersama konseli dan konselor setelah konseli mulai merasakan masalah yang dihadapinya lepas dan lega.
Post a Comment for "Studi Kasus : Konseling Gestalt"
Penulis
Pendidikan
1. S1 BK (STKIPMPL)
2. S2 BK (Unnes)