Ketika Guru Serba Salah




Guru serba salah. Terlalu lembut anak didik kurang ajar, ketika tegas dituding melanggar Hak Asasi Manusia. 


 Sebut saja Khadijah (bukan nama asli), maksud hati ingin memberi efek jera terhadap siswanya yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan cara menjewer. Tapi, jeweran itu malah membuahkan tuntutan yang tak mengenakkan. Guru SD itu dituntut wali murid untuk membayar ganti rugi sebagai balasannya. 

            Khadijah tentu saja menjadi panik. Apalagi ada ancaman dari orang tua murid untuk membeberkan masalah ke media, bahkan akan berlanjut ke kepolisian. Ibu guru itu sempat kelimpungan untuk mendapatkan uang senilai Rp 5 juta. Namun karena mendapat pembelaan dari rekan-rekan seprofesinya, tuntutan itu masih mengambang. Hingga berita ini diturunkan, belum ada perkembangan.

Perlakuan yang sama juga menimpa Ibu Siti (bukan  nama sebenarnya), guru SDN Depok kelas IV. Ia pernah didatangi wali murid dan dua orang preman bertubuh tinggi besar, gara-gara tidak menaikkan kelas anak didiknya. Ibu Siti bahkan sempat diancam wali murid untuk dilaporkan ke diknas sampai wartawan setempat, jika guru SD itu tak menaikkan anaknya. 

“Saya merasa diteror, karena didatangi preman bawaan wali murid. Dan ini bukan sekali terjadi, guru sebelumnya pun mengalami hal yang sama, ditekan agar menaikkan kelas anaknya yang lemah dalam setiap mata pelajaran,” ujar Ibu Siti.  

Setelah mengadu ke Kepsek tempatnya mengajar, wali murid itu tetap saja menekan. Didiamkan, esoknya kembali didatangi lagi. Karena tekanan yang bertubi-tubi, Pak Kepsek pun terpaksa mengeluarkan kebijakan “Naik-Terbang”. Maksudnya, si anak akan dinaikkan, tapi dengan syarat harus pindah ke sekolah lain. Inilah bentuk tekanan wali murid, ketika guru tak lagi dihormati.   

Menurut pengamat pendidikan, Masroni A.Md, seiring dengan bergulirnya waktu, penghargaan terhadap guru sudah mulai menurun dan berkurang. Idealnya, guru harus dihormati, digugu, ditiru, dan dijadikan panutan. Kata-katanya didengar, nasihatnya dituruti. Tapi, harapan itu sulit ditemukan pada hari ini, di mana guru tidak lagi dihargai, dihormati, dan dijadikan panutan. Guru sudah kehilangan wibawa di mata peserta didik dan masyarakat. Sampai harus dilaporkan ke kepolisian. 

            Kabarnya, para guru yang tergabung dalam Persatuan GuruRepublik Indonesia (PGRI) akan membentuk tim advokasi untuk guru. Tujuannya agar guru didampingi kuasa hukum bila terjadi sesuatu yang memojokkan dirinya, mengingat guru kerap dalam posisi yang sangat lemah. Ketika dikonfirmasi Sabili, Ketua PGRI kecamatan Pancoran Mas, Samsuddin mengatakan, hal itu masih dalam proses.

Hasil Survei      

Ihwal jewer-menjewer atau tekanan terhadap guru hingga berbuat tuntutan, rupanya terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Di Surabaya, tepatnya 28 Mei lalu, Kepala Sekolah (Kepsek) SDN Ketabang IV, Drs Sunarto MM dilaporkan ke polisi oleh empat orang tua siswa kelas I. Jeweran kepsek itu dinilai terlalu kuat, sehingga ke-4 anak didiknya terluka. Di Sumatera Barat, pernah terjadi, seorang guru dikejar wali murid dengan menggunakan parang oleh anggota masyarakat yang marah karena anaknya dijewer sang guru di lingkungan sekolah. Anak tadi menangis kemudian mengadu kepada orang tuanya. 

Di  Situbondo, kasus penjeweran juga dilakukan seorang Kepala Sekolah SDN III Kandang, Kecamatan Kapongan, Situbondo Jawa Timur terhadap siswinya yang duduk di bangku SD kelas VI. Sejumlah LSM setempat masih mempersoalkan sang guru yang menjewer karena anak didiknya tidak bisa mengeja huruf ABCD.
Di Maumere, (15/9) guru matematika di SMP Negeri 1 Waigete, Kabupaten Sikka, memukuli 60-an siswa kelas I dan II sekolah itu, dengan belahan bambu hingga luka memar. Ibu guru itu jengkel karena para siswa mengolok-oloknya dengan lontaran “SGM” (sinting, gila, miring).

Yang menarik, sebuah harian ibukota ternama di Jakarta telah  melakukan survei, selama Januari hingga April 2008. Hasil survei itu menjelaskan, jumlah kasus kekerasan terhadap anak berusia 0-18 tahun di Indonesia, terdata 95 kasus. Dari jumlah itu, persentase tertinggi, yaitu 39,6 persen diantaranya, dilakukan oleh guru. Tindakan yang sering dilakukan adalah kekerasan fisik seperti memukul. Korban terbanyak berasal dari siswa SD dan SMP.
Ketika ditemui di Depok, Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi alias Kak Seto, hukuman jewer tak dibenarkan dalam mendidik. Jika sampai terluka, bisa dilaporkan ke kepolisian, tapi sebaiknya diselesaikan secara damai dan kekeluargaan.

Menjadi Pelajaran

Bagi guru, menjewer mungkin merupakan bentuk hukuman yang dapat menimbulkan efek jera. Dengan mengikuti paradigma lama, jeweran itu diharapkan anak didik akan berubah. 

Seorang guru SD yang mengajar di lingkungan lokalisasi, bercerita ihwal cara mendidik yang dianggapnya berhasil. Sang guru menyadari, di lingkungan lokalisasi sedikit banyak memberi pengaruh bagi perkembangan jiwa anak. Karena dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka tinggal, akhirnya anak-anak tersebut memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka bicara jorok dan kotor dengan sesama temannya.

Kebiasaan ini terus berlanjut, mulai dari pergaulan sesama tetangga sampai dibawa ke sekolah. Melihat tingkah laku anak didiknya, sang guru merasa sangat cemas, disisi lain guru tersebut berpikir apabila dibiarkan, perilaku anak didiknya semakin susah untuk diperbaiki. Sang guru pun memeras otak dan mencari cara agar anak didiknya bisa berubah, tidak berbicara jorok dan kotor, baik di sekolah maupun dilingkungan rumah mereka.

Suatu hari, sang guru mendapat ide. Segera anak-anak didiknya dikumpulkan, kemudian guru itu berkata kepada anak didiknya: “Anak-anak, mulai hari ini kita akan memulai sebuah permainan, apakah kalian semua setuju?” Mendengar gurunya berkata permainan, maka semua anak sekolah serentak mengatakan setuju.

Guru itu melanjutkan, ”Mulai hari ini, kita bermain permainan kata-kata sopan, apabila di antara teman-teman kalian ada yang berbicara kotor, baik di sekolah ataupun di rumah, maka siapa pun di antara kalian yang mendengarnya, boleh mencubit atau menjewer teman kalian yang berbicara jorok itu. Apabila ada yang melawan, di antara kalian boleh mengadu ke Ibu,” ujar sang guru.


Karena para murid takut dijewer dan dicubit oleh temannya, maka secara bertahap mereka mulai memperbaiki kebiasaan jeleknya, akhirnya sang guru berhasil memperbaiki kebiasaan buruk para muridnya.

Dari kisah tersebut, bukan berarti, jeweran bagi anak boleh ditolerir sebagai pola didik. Apalagi di zaman sekarang, jeweran kerap diartikan lain sebagai bentuk penganiayaan. Kasus-kasus di atas setidaknya menjadi pelajaran bagi semua guru bahwa menjewer kini dilarang oleh undang-undang perlindungan anak. “Orang tua sekarang paradigmanya juga berubah. Jeweran orang tua saat ini dianggap sebagai aniaya bagi anaknya. Mengingat orang tua di rumah tidak pernah menjewer, sehingga jeweran terhadap anaknya dianggap sebagai tindakan kekerasan,” ujar Masroni yang juga praktisi pendidikan.

Berkaitan itu, lanjut Masroni, guru perlu tahu bahwa sekarang telah terjadi pergeseran paradigma mengajar. Dahulu, tindakan mencubit, menjewer, memukul, membentak merupakan sarana untuk membuat anak patuh, mengubah tindak, dan sikapnya. Sekarang, tindakan itu dimaknai sebagai sebuah kekerasan (bullying),” ujarnya.

Ketika ditanya, mana yang efektif, mendidik dengan cara kelembutan atau ketegasan? Menurut Masroni, mendidik itu seperti memegang seekor burung. Pendidikan, ada saatnya keras, ada saatnya lembut. Burung jika dipegang dengan keras akan mati, namun jika dengan lembut burung yang nakal akan lepas. Perlu dibentuk dewan guru di sekolah, kapan bisa menghukum dan kapan tidak. Intinya ada efek jera dalam pendidikan, agar anak didik tidak mengulang kesalahan untuk yang kesekian kalinya,”tukasnya. 
Terpenting, perbaiki hubungan antara orang tua dan guru. Terkadang orang tua sering melakukan pembelaan yang tidak pada tempatnya terhadap anaknya. Harus ada kesamaan langkah orang tua dan guru. Jika murid mendapat jeweran sedikit dari guru, semestinya orang tua tidak perlu melaporkan ke polisi. “Keras itu beda dengan tegas. Dalam dunia pendidikan, tegas yang proporsional itu sangat dibutuhkan. Kelembutan pun bukan berarti bebas dari sanksi hukuman dan ketegasan.”

Orang tua sekarang, lanjut Masroni, ingin anaknya beres. Kalau anak sukses, hasil didikan guru diabaikan, tapi kalau anaknya bermasalah guru dituding macam-macam. Dulu ketika guru menghukum murid yang nakal dengan cara berdiri dengan satu kaki plus menjewer kuping sendiri selama beberapa menit, orang tua tak ada yang feedback yang aneh-aneh.

Yang jelas, komunikasi guru dan orang tua murid perlu diperbaiki. Mereka harus bertukar pikiran (sharing), mencari solusi terbaik bagaimana mendidik, demi kebaikan setiap anak. Bukan dengan melaporkan ke polisi. Sepakati saja, hukuman mana yang tidak boleh dilakukan guru, seperti: hukuman dengan menjemur, berdiri atau berlutut di depan kelas, melempar penghapus atau penggaris, dijewer, menyentil, push up, dan membersihkan WC. Atau mengeluarkan kata-kata kasar, seperti bodoh, goblog, kurus, hitam, dan sebagainya

Untungnya guru di Indonesia tak sampai seperti terjadi di Texas, AS, yang membolehkan para guru membawa pistol saat mengajar di ruangan kelas, dikarenakan adanya tekanan dan teror dari anak didiknya sendiri.

***Berbagai sumber**
 

Post a Comment for "Ketika Guru Serba Salah"